Notice: Constant DATE_RFC7231 already defined in /home/tikarori/lpsn.org/includes/bootstrap.inc on line 258
Wilayah Tafsir dalam Agama dan Seni | LPSN

Wilayah Tafsir dalam Agama dan Seni

Realitas bangsa yang terpuruk dalam ketertinggalan, kebodohan, kemiskinan dan kemunduran, meniscayakan kita untuk menghadirkan tafsir terhadap keseluruhan dimensi dan aspek yang berkaitan dengan kehidupan. Tafsir menjadi penting untuk mengurai berbagai problematika kehidupan berbangsa serta menyelamatkan publik dari tafsir tunggal dan semena-mena yang akan menyeretnya pada perpecahan. Penafsiran adalah ciri khas manusia, karena manusia tak dapat membebaskan diri dari kecenderungan dasarnya untuk memberi makna. Man is condemned to meaning, kata Merleau Ponty. Tafsir adalah salah satu pendekatan atau konsep pemahaman terhadap teks agama. Karena itu, tafsir yang menjadi pandangan hidup masyarakat pada formasi sosial harus dapat menyajikan, menemukan dan mengonstruksikan pemahaman agama. Tafsir diharapkan dapat membantu proses pembentukan masyarakat yang dicita-citakan, yaitu masyarakat yang adil, demokratis, dan sejahtera.
Pada konteks inilah, seharusnya agama berperan dalam memotivasi masyarakat untuk melakukan transformasi. Dimulai dengan mempertemukan kembali ide, gagasan dan pemikiran yang emansipatoris dan eksploratif. Dalam hal ini tidak ada batasan, apakah pemikiran-pemikiran tersebut lebih bernuansa keagamaan atau kebudayaan. Hasilnya diharapkan mampu membangun identitas  budaya bangsa yang memposisikan masyarakat tidak berdiri sebagai objek, melainkan sebagai subyek. Kemudian secara bersama-sama melakukan inovasi dan kreatifitas yang melibatkan dirinya dengan konteks makro perubahan-perubahan dalam lapisan struktur masyarakat yang sangat beragam ini.
Identitas bangsa yang ramah, toleran dan punya etos kerja yang kuat, menghilang dari tengah masyarakat. Semua berubah menjadi prilaku mudah marah, intoleransi dengan perbedaan serta munculnya budaya instan yang diakibatkan sifat malas. Hal seperti ini mengakibatkan bangsa kita kehilangan martabat di mata dunia. Mengutip pepatah Arab : " sesungguhnya keberadaan sebuah bangsa tergantung pada identitas moralnya, tanpa identitas maka lenyaplah bangsa itu tanpa bekas". Keruntuhan moralitas bangsa di semua lapisan sosial, sudah selayaknya menumbuhkan kesadaran bahwa hidup adalah proses, usaha, kerja keras, keikhlasan dan perjuangan. Kesadaran itu akan tumbuh melalui kreatifitas seni, karena sesungguhnya kesenian memainkan posisi dan tanggung jawab untuk mengembalikan nurani, identitas dan moralitas bangsa. Karena jiwa yang tidak tersentuh oleh proses berkesenian akan mengidap penyakit kejiwaan. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghozali, mengatakan, "Barangsiapa yang jiwanya tidak tergerak oleh kembang-kembang yang bermekaran di musim bunga, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit kejiwaan yang sulit diobati".
Musuh yang berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, yaitu sejenis keyakinan yang tertutup. Dogmatisme bahwa suatu doktrin, baik agama, seni, dan adat istiadat tertentu, merupakan bentuk final, paling sempurna dan dianggap sebagai obat mujarab atas semua masalah serta mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang. Padahal perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa, dan dogmatisme salah satunya. Karena adanya penafsiran tunggal dan claim of truth, yang pada akhirnya hanya akan melahirkan pemaknaan sepihak terhadap doktrin-doktrin keagamaan dan kebudayaan yang memperuncing relasi antar sesama komponen bangsa yang beragam. Ini mengakibatkan agama atau seni, hadir dalam wujud parsial dan kehilangan visi utamanya sebagai " teks terbuka dan membebaskan ". Bahkan tak jarang perbedaan cara pandang terhadap teks itu menyebabkan sikap-sikap eksklusif dan perilaku-perilaku destruktif.
Manusia yang bertauhid adalah seorang manusia yang bebas untuk menentukan pilihan-¬pilihannya. Tetapi pilihan-pilihan bebas ini tidak terlepas dan terbebaskan dari konsekuensi-¬konsekuensi logis yang menyertainya. Ia adalah pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban dan kebebasan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Kebebasan apapun bentuknya selalu meniscayakan aspek pertanggungjawaban demikian pula sebaliknya. Monotaisme tauhid memberikan basis bagi proses-proses keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia. Maka pembebasan dan pertanggungjawaban individual tersebut pada gilirannya memberikan refleksi pada relasi-relasi sosial kemanusiaan universal. Tauhid merupakan pernyataan yang bermakna pembebasan diri dari dan penolakan terhadap pandangan dan sikap-sikap tiranik manusia, terhadap penindasan manusia terhadap manusia yang lain untuk dan atas nama kekuatan, kepemilikan dan keunggulan kultural apapun. Afirmasi teologis tauhid, sekali lagi, sejatinya merupakan upaya-upaya pembentukan tatanan sosial politik yang didasarkan atas kesatuan moralitas kemanusiaan yang melintasi batas-batas kultural dan ideologis.
Nilai-nilai tauhid menekankan persamaan atau kesetaraan manusia secara universal, kemerdekaan, dan kesementaraan. Artinya tidak ada yang betul-betul abadi, mandiri dan asli, semua berasal dari Allah yang telah memberi inspirasi pada semua manusia. Yang kemudian karena keberagamannya, berbeda-beda mengidentifikasi suatu objek atau peristiwa. Akibatnya, bisa terjadi banyak sekali identitas terhadap objek dan peristiwa yang sama karena pengidentifikasi memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dengan demikian, dibutuhkan kearifan dalam tafsir makna, dengan melakukan komunikasi yang efektif agar komunikator dan komunikan memahami kesamaan makna pesan.
Dalam kaitan itu, perlu dipertimbangkan tingkat kerumitan yang timbul dalam penafsiran, sebagaimana yang diungkapkan John Hayes dan Carl Holladay. Menurut keduanya ada dua faktor yang penting diperhatikan. Pertama, faktor "sudut pandang pihak ketiga" yaitu pengamat atau orang luar, atau bahkan sebagai seorang "penyelundup". Kedua, faktor bahasa. Sebuah teks atau dokumen disusun dalam bahasa yang berbeda dari bahasa si penafsir. Ketiga, faktor kesenjangan budaya. Dokumen-dokumen yang dihasilkan didalam suatu konteks kebudayaan dan ditafsir di dalam konteks kebudayaan lain, menimbulkan masalah-masalah tertentu si penafsir. Keempat, faktor kesenjangan sejarah. Seseorang dimasa kini yang mempelajari sebuah dokumen dari masa lampau secara kronologis terpisah dari masa ketika dokumen itu dihasilkan. Kelima, faktor 'produk' atau 'hasil' dari perkembangan historis dan kolektif, yakni bahwa dokumen-dokumen itu, kadangkala bukanlah produk seorang pengarang dan bukan produk suatu priode waktu tertentu saja. Keenam, faktor adanya banyak teks yang berbeda dari dokumen-dokumen yang sama. Dalam hal ini penafsir diperhadapkan dengan masalah penentuan susunan kata atau kalimat sebenarnya dari teks yang tengah ditafsirkan. Ketujuh, faktor teks dipandang suci. Memperlakukan sebuah teks sebagai teks suci sedikit banyak mengharuskan kita untuk memperlakukannya lebih dari sekedar sebagai 'sastra yang baik atau sebagai karya klasik.
 Akhirnya, diperlukan sebuah kearifan untuk saling menghargai, menghormati, melengkapi dan menghidupi. Karena agama dan seni sebagai sebuah teks, yang sering dipakai tahkim, penghukuman dan pendominasian, masih sangat dangkal dibanding realitas kehidupan. Imam Haramain dalam al-burhan fi ushul al-fiqh, disebutkan : " Teks-teks yang memuat hukum dibanding realitas kehidupan, ibarat setetes air di hadapan lautan yang tak pernah kering". ##KH Maman Imanulhaq Faqieh.

Penulis, lahir di Sumedang, 8 Desember 1972 adalah Bapak dari tiga anak; Fahma, Hablie, Ghaitsa yang di tengah kesibukannya sebagai pengasuh ponpes Al-Mizan Jatiwangi, Program OutBond (Pesantren Alam) serta mengembangkan pengajian Dzikir sholawat nariyah & Muhasabah, ia pun merintis Pesantren Budaya dengan Komunitas Gamelan Sholawat "Qi Buyut" sebagai maskotnya. Disamping aktif mengisi pengajian, iapun rajin menghadiri diskusi-diskusi di P3M Jakarta, Halaqoh Budaya, whork shop, kegiatan kesenian serta dialog lintas agama dan kepercayaan. Tulisan-tulisan serta puisi religiusnya sering menghiasi Koran dan Majalah. Selama tahun 2003, dengan ALIF dan Olympiade Kebudayaan ia keliling dalam kegiatan Syukur Pesisir. Oktober 2003, menjadi pembicara dalam Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi Sumatra Barat. September-Oktober 2004 berkujung ke USA, sebagai peserta program Inter-religious Dialogue Ohio University. Nadhom santri (Lkis), Tarasi (Pustaka Santri) dan Ku Pilih Sepi (eLmizan) adalah tiga buku yang lahir dari tanganya. Contac: Yayasan Al-Mizan Ciborelang Jatiwangi. 0233- 881024. 081564617881
e-mail ; noel_haq@yahoo.com

Share: 

Zircon - This is a contributing Drupal Theme
Design by WeebPal.