Beberapa hari terakhir seorang etnomusikolog Endo Suanda menjadi ‘anak kos’ di pondokan saya di tepi sungai di sudut kota Denpasar. Pak Endo – demikian saya memanggil beliau – berasal dari sebuah kampung di Jawa Barat, pelaku seni-budaya tradisional Sunda, yang mengenyam pendidikan seni di jenjang S2 dan S3 di Amerika, yang sangat rapi mengarsip dan mendokumenterkan berbagai ragam kesenian daerah dan peralatan music serta berbagai ‘geliat kesenian’ tanah air.
Mendapat tamu seorang etnomusikolog: Membicarakan kesenian Indonesia pun menjadi menu pagi kami. Geliat kaum muda yang berkiprah dalam ‘musik alternatif’ dan sekaligus serius menggali khasanah instrument etnis, dalam beberapa kesempatan kami timbang dan perbincangkan dalam makan siang dan makan malam.
Setelah dua malam menginap, saya baru ngeh kalau gitar dalam sarung hitam yang dibawa Pak Endo adalah gitar bambu buatannya sendiri di LPSN (Lembaga Pendidikan Seni Nusantara). Biasanya yang dibawa-bawa terus kemana-mana adalah jenis-jenis alat musik petik dan perkusi dari bambu yang agak aneh bentuknya. Saya mengikuti perkembangan hasil karya instrument bambu buatan Pak Endo dalam 6 tahun terakhir, dan semua instrument buatannya adalah serba tradisi, yang sudah biasa buat saya. Ternyata, kali ini Pak Endo membawa ‘gitar beneran’ dari bambu.
“Saya merasa geli karena membuat gitar bambu. Saya tidak bisa main gitar. Ini adalah buah perjalanan panjang dari materi ajar dalam pengajaran kepada guru-guru kesenian di LPSN”, kata Pak Endo.
Pak Endo membidani Lembaga Pendidikan Seni Nusantara (LPSN), sebuah yayasan nir-laba, yang didirikan tahun 2002, oleh para seniman, peneliti dan pendidik seni. Program utamanya adalah menyusun kurikulum dan bahan ajar kesenian untuk sekolah umum, yang mengarah pada pemahaman pluralitas kesenian Indonesia. LPSN telah membuat bahan ajar sebanyak 10 (sepuluh) topik, terdiri dari buku-buku paket beserta CD/DVD audiovisualnya, yang telah diterapkan (tryout) di 906 sekolah di 12 provinsi. LPSN juga telah melatih guru kesenian lebih dari 1.300 orang, dan menyertakan sekitar 100.000 siswa.
Gitar bambu yang menjanjikan
Melihat dan mendengar suara gitar bambu yang dibawa Pak Endo sangat menarik untuk dibedah dan diobrolkan kisah di balik pembuatannya, saya langsung tawarkan ke Ayip untuk diselengarakan obrolan tentang KISAH GITAR BAMBU dengan mengundang teman-teman atau anak muda yang tertarik gitar. Tawaran mendadak ini disambut Ayip. Terselenggaralah obrolan dan ujicoba gitar bambu Pak Endo ini di Kopi Kultur.
“LPSN lebih mengajak anak atau siswa memasuki pengalaman praktis dengan kesenian seperti membuat alat music dari bambu atau berbagai bahan yang tersedia, entah kaleng atau kardus, yang dipadukan senar atau dipukul layaknya perkusi,” pak Endo mengawali obrolan ‘KisahGitarBambu’. Ia juga menjelaskan bahwa pengalaman akustika dan pemahaman resonansi menjadi perbincangan utama anak didik dan guru. Pengajaran kesenian berbaur dengan pemahaman fisika yang bergulat dengan ukuran dan efek suara dari bentuk dan materi yang dipakai dalam membuat alat musik.
Dalam obrolan di Kopi Kultur ini juga terungkap bukan hanya musik yang dijamah LPSN, Pak Endo dan team-nya juga telah membuat modul pengajaran yang merambah topik yang spesifik: tekstil; topeng; alat music dawai; gong; tari tontonan; tari komunal; pemukiman; sistem tulisan dan kaligrafi; dan lain-lain. Semua topic diajarkan dengan beberapa cara: bacaan untuk anak, lengkap dengan gambar; uraian oleh guru; pengalaman praktek, sesuai dengan keahlian guru; dan contoh-contoh audiovisual (VCD), demonstrasi oleh seniman, dan kesempatan menonton pertunjukan atau pameran.
“Dalam proses pelatihan inilah muncul berbagai alat musiK dari berbagai materi yang tersedia, diantaranya adalah bambu yang melimpah tersedia,” imbuh Pak Endo yang telah melatih sekitar 1.400 guru di pelosok negeri.
Perkusi, berbagai peralatan dawai, dan alat tradisional setempat dicoba dibuat dengan bambu pada saat pelatihan guru dan juga melibatkan siswa tersebut, semuanya instrument music itu dibuat dalam waktu 2 atau 3 hari, selama pelatihan tersebut. Pak Endo tertantang, “Bagaimana kalau saya buat alat music bambu yang lebih serius dengan waktu 2 minggu atau lebih per buah?”Pilihan pun jatuh pada gitar. Pak Endo dengan staff di kantornya membuat workshop di rumahnya dan juga di kantornya. Salah satu staffnya bernama Budi, seorang yang latarbelakangnya tukang tembok, dilibatkan dan dilatih dalam experiment pergerakan membuat gitar bambu. Pak Endo mempelajari literatur pembuatan gitar yang tersedia baik online dan buku-buku serta bertanya sana-sini ke pembuat gitar di Bandung dan berbagai daerah lainnya di Indonesia.
Hasilnya: Sebuah gitar bambu yang segera mendapat sambutan dari banyak sahabatnya, termasuk pengamen jalanan. Gitarnya dicoba oleh para seniman Bandung yang tergabung dalam Karinding Attack, hingga pernah dipakai manggung oleh Totok Tewel, Oppie Andaresta, dan Sawung Jabo.
Kemarin (19 Juli 2013) obrolan dan ujicoba gitar bambu Pak Endo ini digelar di Kopi Kultur. Diikuti para muda, penggiat kerja kreatif, dan beberapa pemain gitar Denpasar. Acara yang dipersiapkan dalam 2 hari ini langsung berjalan santai. Setelah dibuka Ayip juru kunci Kopi Kultur, dialog ‘Kisah Gitar Bambu’ dilanjutkan dengan slide-slide penjelasan Pak Endo berkisah tentang LPSN dan kegiatannya dan bagaimana pencariannya dalam membuat gitar bambu.
Ada beberapa seniman dan penyanyi yang membawakan lagu dengan gitar bambu, seperti: Dadang SH Pranoto, Kupit (Guna Warma), Sandrayati Fay, dan Sanjaya. Sehingga pertemuan itu pun menjadi malam penuh keindahan: asyik karena santai dan ramah. Bagi semua yang mencoba, gitari tu OK banget, bagus sekali sebagai instrumen yang baru dalam tahap pengembangan, sudah sangat layak dimainkan—walau masih ada beberapa hal teknis yang mesti diperbaiki. Bagi Pak Endo, mendengarkan itu semua menyenangkan sekali, maklum ia tidak bisa memainkannya. “Saya bikin alat ini untuk dimainkan.Tapi karena saya tak bisa, paling bahagia adalah ketika mendengar gitar ini berbunyi, apalagi disertai nyanyian-nyanyiannya.”
Dalam lintasan sejarah music dan kesenian Nusantara, kita semua tahu bahwa bambu memang sedari beradab-adab menjadi peralatan music berbagai etnis Nusantara, seperti angklung, karinding, suling, saluang, celempung, tingglik, jegog, dstnya, namun belum banyak yang menjajal membuat gitar atau peralatan ‘musik modern’ dengan bambu dengan serius. Pak Endo telah dengan serius dalam menjajal bambu menjadi gitar.Bahkan ia sudah mimpi untuk membuat grand piano bambu setelah gitar bambu buatannya mencapai kualitas terbaik.
“Jika gitar bambu ini membuat banyak orang senang dan suaranya bagus, ini bukan karena kami para pembuatnya yang hebat, kami ini buta dan bloon, tidak bisa main gitar. Kupikir, ini adalah karena bambu punya daya akustik yang memukau,”tutup Pak Endo dalam pemaparannya di Kopi Kultur.
Sekilas tentang Endo Suanda
Lahir dan dibesarkan di Desa Cikasarung, Majalengka, Jawa Barat, mempelajari-memainkan beberapa jenis kesenian tradisi sejak kanak-kanak. Ia masuk pendidikan akademis di ASTI Bandung (1968-1973) dan Yogyakarta (1973-1977), dan sejak pertengahan tahun 1970-an ia banyak terlibat dalam dunia kesenian kontemporer, di bidang tari, musik, teater, dan bahkan film. Pendidikan etnomusikologi didapatnya di Wesleyan University (1979-1983) dan University of Washington (1987-1991), USA. Sebagai etnomusikolog ia melakukan penelitian, pendokumentasian di beberapa daerah di Indonesia. Di dalam negeri ia pernah mengajar di Konservatori Karawitan/Tari (Bandung, Yogya, Surakarta), ASTI/STSI (Bandung dan Yogyakarta), dan Jurusan Etnomusikologi USU di Medan, dan menjadi ketua Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (1997-2001) dan mengelola terbitan Seri Musik Indonesia (1997-2005), dan memimpin Majalah Gong di Yogyakarta. Di luar negeri, sebagai pengajar, mahasiswa, seniman, pemberi workshop dan seminar, pemimpin rombongan, sutradara, dll. Ia juga adalah anggota Akademi Jakarta. Bergelut dalam dunia bambu sejak LPSN didirikan, 2002, tapi mulai serius mengolahnya untuk menjadi alat musiK lebih profesional baru dalam 5-an tahun terakhir. Dalam dunia gitar, ia termasuk orang yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan, terutama dalam memainkannya. Selama karirnya, ia pernah mendapat bantuan dari Ford Foundation, Asia Cultural Council, Fulbright, Japan Foundation, British Council, dan yang terakhir ia menerima Anugerah Budaya Walikota Bandung 2009.
Sugi Lanus, Denpasar, 20 Juli 2013.