Notice: Constant DATE_RFC7231 already defined in /home/tikarori/lpsn.org/includes/bootstrap.inc on line 258

Deprecated: Methods with the same name as their class will not be constructors in a future version of PHP; views_display has a deprecated constructor in /home/tikarori/lpsn.org/sites/all/modules/views/includes/view.inc on line 2553

Deprecated: Methods with the same name as their class will not be constructors in a future version of PHP; views_many_to_one_helper has a deprecated constructor in /home/tikarori/lpsn.org/sites/all/modules/views/includes/handlers.inc on line 753

Deprecated: Methods with the same name as their class will not be constructors in a future version of PHP; panels_cache_object has a deprecated constructor in /home/tikarori/lpsn.org/sites/all/modules/panels/includes/plugins.inc on line 117
Pergulatan Islam, Kebudayaan, dan Modernitas | LPSN

Pergulatan Islam, Kebudayaan, dan Modernitas

Oleh K.H. Maman Imanulhaq Faqieh

Dalam konteks bangsa kita, Indonesia, pondok pesantren bukan hanya membangun tradisi ilmiah (keilmuan) dengan kiai dan ajengansebagai sentral intelektual par-excellent, tetapi juga telah membangun tradisi maupun budaya yang memosisikan masyarakat tidak hanya sebagai obyek, melainkan sebagai subyek yang kelak secara bersamaan menyusun “strategi kebudayaan”. Di sini, kreatifitas dalam tradisi dan kebudayaan berkaitan dengan konteks makro perubahan-perubahan yang ada pada lapis struktur masyarakat yang sangat beragam.

Menurut mantan Presiden RI sekaligus mantan ketua umum PBNU Abdurrahman Wahid, pondok pesantren merupakan sub-kultur, artinya di satu sisi, dalam komunitas pesantren, proses rekonstruksi kebudayaan (culture) dan pertumbuhannya senantiasa bertolak dalam bingkai tradisi keilmuan dengan meletakkan (pengetahuan) agama sebagai mainstream.

Di sisi lain, berbagai model tradisi serta budaya telah menjadi subyek dari “ruh” kultur pondok pesantren itu sendiri. Antara tradisi keilmuan dan transformasi budaya dalam komunitas pondok pesantren saling melengkapi, saling menghidupi, dan saling menyentuh satu dengan yang lain.

Dari ide dasar di atas, maka pondok pesantren pada setiap gerak perjalanannya ingin mempertemukan tradisi keilmuan dan transformasi budaya sebagai ikhtiar untuk mencetuskan gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikiran yang pada komunitas pesantren itu sendiri, disadari atau tidak, sering kali dinafikan sekaligus terpinggirkan.

Dari sini pulalah, beberapa pendiri pesantren mencoba menyusun gagasan dan pemikiran yang bersifat emansipatoris dan eksploratif. Entah bernuansa keagamaan atau kebudayaan; lebih dekat dengan problem besar keberagamaan kita; lebih mengarah pada fenomena kebudayaan, atau apakah keseluruhan soal-soal di atas hendak dipertemukan dalam satu momentum “budaya pesantren” ?

Setidaknya, ikhtiar itu memberikan indikator dari apa yang telah dikemukakan dalam uraian awal. Pertama,pengkajian terhadap pengetahuan keagamaan merupakan bagian dari sikap emansipatif. Dan kedua, proses tranformasi ke arah kebudayaan bagaimana pun merupakan indikator dari adanya suatu sikap eksploratif.

Antara Keotentikan dan Kemodernan

Pesantren, dari aspek bahasa berasal dari kata “santri” yang diberi awalan “pe” di depan dan akhiran “an”, berarti asrama tempat tinggal para santri (Dhofier, 1985:18). Menurut Wahid (2001:171), “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.”

Pesantren mempunyai tradisi (al-turâts) khas yang merupakan—meminjam istilah Hassan Hanafi—khazanah kejiwaan (makhzun al-nafs) yang bersifat material dan imaterial yang dikembangkan untuk melahirkan pemikiran yang progresif-transformatif dalam upaya membangun masyarakat.

Pesantren acapkali bersifat fleksibel dan toleran sehingga jauh dari watak radikal, apalagi ekstrem, misalnya dalam menyikapi masalah sosial, politik, maupun kebangsaan. Karena punya watak dan tradisi yang fleksibel dan toleran, maka pesantren mampu menjembatani problem keotentikan dan kemodernan (musykilah al-ashalah wa al-hadatsah) secara harmonis.

Jika tradisi itu bisa dipertahankan, maka pesantren akan selalu eksis dalam memperjuangkan tujuan-tujuan dasar Syariat Islam (maqâshid al-syari‘at), yakni menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan lokal. Yaitu Syariat Islam yang sesuai dengan kehidupan demokrasi dan mencerminkan karakter genuine kebudayaan Indonesia sebagai alternatif dari tuntutan formalisasi Syariat Islam yang kaffah pada satu sisi dengan keharusan menegakkan demokrasi dalam nation-state Indonesia pada sisi yang lain.

Dengan modal tradisi itu, sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar lima ratus tahun yang lalu, pesantren telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia. Misalnya, pada zaman walisanga (wali sembilan) pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa.

Dalam buku Primbon karya Sunan Bonang, dijelaskan hakikat pemikiran dan madzhab yang dianut Walisanga yang meliputi aspek akidah, syariat, dan tasawuf. Buku ini cukup representatif menjelaskan pemikiran dan metode dakwah Walisanga.

Walisanga tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16, di tiga wilayah penting, yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaru masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru, mulai dari bidang kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Padepokan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, tetapi juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.

Tentu banyak juga tokoh lain yang berperan. Namun, walisanga lebih sering disebut sebagai penyebar Islam karena jasanya sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, serta memberi pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta lapangan dakwah secara langsung.

Masing-masing tokoh walisanga mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Maulana Malik Ibrahim menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Giri disebut para kolonialis sebagai “Paus dari Timur”, sementara Sunan Kalijaga mencipta kesenian yang bernuansa Hindu dan Budha agar bisa dipahami masyarakat Jawa.

Pada zaman penjajahan, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda berakar dari atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren (Hasbullah, 1999:149). Pesantren adalah tempat ditiupkannya “ruh jihad” demi membela agama dan bangsa. Pesantren saat itu menjadi markas pejuang kemerdekaan dan gudang logistik. Selain itu, menurut Azyumardi Azra, pondok pesantren juga berperan dalam era kebangkitan Islam di Indonesia yang telah terlihat dalam dua dekade terakhir ini.

Menggugat Eksistensi Pesantren

Sekarang, di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam yang terletak di seluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Di Jawa ada berbagai karakteristik pondok pesantren. Perbedaan karakteristik pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren (Hasyim, 1998:39). Unsur-unsur pokok pesantren itu adalah kiai, masjid, santri, pondok, dan kitab Islam klasik (disebut juga kitab kuning).

Dengan karakteristik yang unik, institusi pesantren selama ini tidak pernah lepas dari perhatian publik. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal. Pertama, pesantren memiliki basis sosial yang kuat di masyarakat dengan nilai-nilai keagamaan yang kental. Kedua, pesantren memiliki karakteristik yang kuat karena karisma kiai. Dan, ketiga, pesantren telah melahirkan kader yang memiliki akses secara nasional ke beberapa lembaga, baik lembaga pemerintah, sosial, dan keagamaan.

Namun, ada beberapa persoalan yang menggelayuti komunitas pesantren. Pertama, tentang eksistensi nilai-nilai budaya pesantren terhadap nilai-nilai dari luar pesantren. Kedua, masalah menajemen organisasi pesantren. Dan, ketiga, tentang jaringan kerja ke lembaga-lembaga luar pesantren.

Selain itu, masih ada beberapa kendala yang melingkupi pesantren. Misalnya ada arus ortodoksi dan konservatisme kalangan sesepuh pesantren yang tidak (atau belum?) berlapang dada memberikan ruang gerak bagi anak muda dengan visi-visi transformatifnya.

Alih-alih memberi dukungan terhadap kiprah anak muda pesantren, mereka justru dianggap sebagai “ancaman” oleh para sesepuh pesantren. Kehadiran para “intelegensia”—memakai istilah Karl Menheim—ini ternyata disambut kalangan ulama “literati” sebagai ancaman terhadap kelestarian khazanah dan bahkan eksistensi pesantren. Padahal berbagai jalan baru, pengetahuan baru, dan nilai-nilai baru yang diusung anak muda pesantren tumbuh dari kecintaan mereka terhadap pesantren (baca: Islam).

Gerakan pemikiran generasi muda pesantren biasanya bersifat plural, terbuka, apresiatif terhadap hal-hal baru, merakyat, dan punya kepedulian sosial yang tinggi. Kecenderungan revolusioner dari dinamika pemikiran ini dijabarkan dengan sikap toleransi yang tinggi, menghormati hak asasi, dan konsisten pada visi penguatan masyarakat sipil. Hal ini didasari keterpanggilan kepada realitas sosial sehari-hari yang digumuli kaum muda pesantren bersama masyarakat bawah yang plural dengan berbagai persoalannya yang kompleks.

Generasi muda pesantren, beberapa di antaranya, mengacu kepada Farid Esack dalam Qur’an, liberation and Pluralism, mencoba mengangkat seluruh isu transformasi yang dibangun dari basis pemahaman pluralisme yang bersifat pembebasan (liberation) melalui perjuangan bersama melawan penindasan dan ketidakadilan yang akan mewujudkan solidaritas tak terucap dengan kaum marjinal dan tereksploitasi yang melintasi garis doktrinal yang sempit.

Pembebasan yang dilakukan tidak hanya pada level sosial dan praktis, tetapi juga pembebasan dalam kaitan doktrin keagamaan yang tidak lagi relevan dan dari tradisi nilai dan budaya yang dianggap sudah usang sebagai upaya menyambungkan tradisi ke modernitas (al-tawâshul min al-turâts ilâ al-tajdîd). Ikhtiar kalangan muda pesantren untuk menggali hal-hal yang ada dalam tradisi pesantren, menurut istilah Abid Al-Jabiri, disebut al-tajdîd min al-dakhîl atau “pembaruan internal” yang mendukung transformasi demi kepentingan masa kini dan masa depan.

Pesantren Dan Hegemoni Budaya

Jika kita tarik ke belakang, selain peristiwa “pencekalan” terhadap pemikiran generasi muda pesantren yang dinamis, pesantren yang dikomandoi para sesepuh dengan doktrin-doktrinnya juga melakukan hegemoni pada perkembangan seni budaya tradisional (lokal). Pesantren yang semestinya menjadi “pengayom” justru menghegemoni tradisi budaya masyarakat lokal. Ada upaya dari pesantren untuk mensterilkan dan melenyapkan hal-hal yang dianggap tidak Islam(i).

Hegemoni pesantren dengan doktrin-doktrin agama yang diajarkan oleh para kiai dan ustad tentu saja berpengaruh terhadap perkembangan seni budaya, khususnya seni budaya tradisional (lokal) yang telah menjadi salah satu sendi kehidupan masyarakat kita jauh sebelum ajaran Islam masuk ke dalam tatanan budaya kita.

Pada titik itu, seni tradisi tak jarang menjadi ikon budaya yang dipandang menempati posisi berseberangan dengan ajaran agama. Karenanya tak jarang ada beberapa agamawan (khususnya kiai) yang secara terang-terangan mengharamkan ikhwal keberadaan seni. Akibatnya, perkembangan seni tradisi mengalami hambatan. Seni tradisi misalnya, dianggap bermuatan syirik, berdekatan dengan prilaku setan, atau bahkan dipandang selalu diikuti setan. Seni tradisi dikhawatirkan akan menjauhkan umat dari nilai-nilai Ilahiah (ketuhanan).

Hubungan antara pesantren dan kreator seni tradisi lalu tidak harmonis dan saling berlawanan. Budaya pesantren dan budaya lokal lalu sulit bertegur sapa. Ironisnya, budaya pesantren dan budaya lokal masyarakat—khususnya seni tradisi—tidak sekadar berjalan pada wilayahnya masing-masing, melainkan kadang bertentangan, bertabrakan, dan saling melenyapkan. Energi keduanya pun tersedot habis dalam pusaran konflik yang tentu saja tidak produktif, melainkan destruktif.

Sudah saatnya kita menepis pola berpikir biner dan dikotomis, misalnya antara “santri” dan “abangan”, “muslim” dan “non-muslim”, “Islam(i)” dan “non-Islam(i)”, dan seterusnya. Yang penting bukan “baju” dan “simbol” luarnya, melainkan sumbangsih positifnya bagi kemanusiaan dan kehidupan.  

Sudah lama kita tidak menyaksikan lagi apresiasi kesenian tradisi  (lokal ) di pesantren-pesantren, baik dalam bentuk pementasan, kajian, maupun sekadar pengenalan pada santri dan masyarakat sekitar. Hal ini mungkin disebabkan karena pengelola pesantren menerapkan “bunyi ajaran agama” yang diambil dari teks-teks fiqih, hadis, dan menghadapkannya secara kaku pada realitas masyarakat dan tradisi-tradisi lokal, khususnya menyangkut keseniannya.

Pesantren lantas “gagal” mendengarkan aspirasi-aspirasi dasar dari masyarakat dan tidak mampu mengolahnya menjadi salah satu basis dari dinamika keilmuan keagamaan di pesantren. Kekakuan, ketertutupan, dogmatisme, dan kemandegan menyebabkan pesantren kehilangan visi “kepemimpinan budaya” di tengah masyarakat. Alih-alih saling mendekat dan bersinergi, pesantren dan masyarakat pun lalu berjauhan, bahkan saling bermusuhan.

Si Kabayan dan Kearifan Lokal

Masih berkaitan dengan pergulatan antara tradisi pesantren dan budaya lokal, tulisan ini juga ingin memotret “kesumpekan transformasi” di dalam Nahdlatul Ulama (NU) sebagai akibat klaim “otentisitas NU”. Jika berbicara tentang pesantren, maka secara otomatis kita juga akan berbicara tentang NU karena sebagian besar pesantren yang tersebar di pelosok tanah air dikelola oleh warga Nahdhiyin.           

Sebelumnya, penulis akan coba bercerita dulu tentang Si Kabayan. Kabayan adalah contoh khas kearifan lokal Sunda yang sering digambarkan sebagai sosok yang pandir tapi cerdik. Beberapa cerita yang mengambil sosok Kabayan sebagai tokohnya banyak dijadikan ta’bir (ibarat, contoh) oleh komunitas pesantren di tatar Sunda dalam menyampaikan pesan dakwah.

Korelasi “Pesantren” dan “Kabayan” seyogyanya menjadi sebuah pilihan menarik di tengah kebudayaan pesantren yang statis dan terjebak rutinitas yang beku. Penyebutan terus-menerus nama “Zaid” secara monoton dalam contoh kalimat tata bahasa Arab di pesantren—misalnya “Zaid datang”, “Zaid dipukul”, “Zaid dilewati” dan seterusnya—cukup menunjukkan betapa pesantren tidak dinamis dan terpisah dengan entitas (ke)budaya(an) lokal.

Pesantren sebagai sebuah lembaga alternatif dalam bidang pendidikan-keagamaan (tafaqquh fi al-dîn) dan pengembangan masyarakat yang menekankan asas dakwah, ta‘awwun, musyawarah, egalitarian, kesederhanaan, dan kemandirian, harus tetap menunjukkan warna lokal dalam mencapai tujuannya. Hal ini penting agar pesantren mampu menyatu dengan masyarakat.

Sampai di sini, penulis teringat sabda Nabi, “khâtib al-nâs bi qadri ‘uqûlihim: berdialoglah dengan masyarakat sesuai kemampuannya”. Kita sebaiknya mampu mengembangkan pesantren, baik dalam aspek tradisi pemikiran, keilmuan, berbahasa, barpakaian, dan seterusnya tanpa melukai hak-hak kultural masyarakat di mana pesantren itu berada. Resistensi terhadap Ma’had Al-Zaitun di Gantar Indramayu, adalah salah satu contoh betapa keberadaannya yang tanpa silaturahmi dan melibatkan masyarakat lokal  akhirnya melukai “perasaan” masyarakat Indramayu.

Pesantren punya sumbangsih besar dalam sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia yang bertujuan membentuk masyarakat rabbani yang sesuai dengan tuntunan Islam yang bersifat  rahmatan lil ‘âlamîn, membentuk manusia Indonesia yang berkualitas dalam segala bidang kehidupan, dan melaksanakan pembangunan demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran yang merata.

Tujuan yang luhur itu ternyata menghadapi kendala yang besar karena pesantren terjebak oleh romantisme kemapanan, menutup diri dari kritik-kritik atas tradisinya, serta mengidap kegugupan mental dan intelektual dalam menghadapi “kemajuan” dan transformasi budaya. Akibatnya, pesantren lalu kehilangan vitalitas, daya hidup, dan daya saing di tengah masyarakat yang semakin maju, kritis, dan penuh tantangan.

Pesantren mengalami kegagapan dalam menyikapi problem kemanusiaan dan kemodernan yang bergerak cepat dan sering kali berseberangan dengan nilai spiritualitas dan nalar pembaruan yang cerah. Citra pesantren pun runtuh dan semakin berkurang kekuatannya sebagai lembaga pendidikan keagamaan, pusat pengetahuan (centre of excellence), agen perubahan sosial dan pembangunan (agent of social change and development), serta “biang” budaya (culture broker). Hal ini disebabkan karena pesantren melupakan jati dirinya sebagai “penjaga tradisi” dan pengayom masyarakat bawah (grassroots society), dan akhirnya hanya dijadikan alat legitimasi dan kendaraan bagi kepentingan tertentu.

Dalam konteks itu, pesantren kadang dieksploitasi oleh para kuyaha (bentuk jamak dari “kiai”) yang terjun ke kancah politik dan wilayah kekuasaan dengan logika serta selera pribadi. Selain itu, para guyasa (bentuk jamak dari gus [anak kiai]) semakin berkuasa menghegemoni kehidupan pesantren serta mendominasi peran, kesempatan, dan pandangan pesantren serta para santrinya yang tetap bergumul dengan rutinitas yang statis, kumuh, dan terpisah dari realitas sosial.

Berhentinya ikhtiar untuk mempertemukan gagasan dan ide-ide yang mempertemukan pemikiran yang emansipatif dan eksploratif, baik bernuansa keagamaan maupun kebudayaan dalam satu momentum “budaya pesantren”, membuat pesantren kehilangan kemampuan dalam proses akulturasi dan asimilasi berbagai tradisi serta budaya lokal yang selama ini menjadi “ruh” kultur pesantren itu sendiri. Hal ini, khususnya terjadi di pesantren-pesantren tatar Sunda tempat dimana suku bangsa Sunda tinggal, yang dari tinjauan antropologi budaya didiami oleh orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa ibu, yaitu bahasa Sunda.

Bahasa Sunda dengan berbagai identitas dan nilainya tidak lagi menjadi persenyawaan dalam sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai keagamaan di lingkungan pesantren maupun di tengah masyarakat disebabkan ada gerakan purifikasi ajaran Islam dari berbagai warna lokal serta praktik keagamaan rakyat. Muncullah kemudian proses “arabisasi” (peng-arab-an) serta indoktrinisasi ala Orde Baru, misalnya dalam penggunaan bahasa nasional yang mematikan keragaman bahasa daerah.

Para kiai lalu lebih tertarik masuk ke wilayah politik daripada merawat dan berinteraksi dengan kebudayaan dan tradisi Sunda. Padahal, dari aspek kronologi sejarah, Sunda mempunyai hubungan panjang dengan Islam serta memuat nilai-nilai universalitas Islam yang kental seperti optimisme, terbuka (inklusif), halus, dan mudah beradaptasi.

Beberapa karya sastra Sunda, misalnya, terlihat sangat kental nuansa keislamannya, seperti wayang, wawacan, dan cerita rakyat. Cerita wayang meskipun berasal dari epos Ramayana dan Mahabarata tetapi dipakai para misionaris Islam—terutama para wali—untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Kata “punakawan”, misalnya, berasal dari “fanâ” dan “a‘wân” yang artinya teman yang tulus, budi pekerti yang tulus ikhlas. Begitu pula kata “dalang” dari “dalla” yang artinya penunjuk, sebagaimana pesan Hadis Nabi, “Barang siapa yang menunjukkan (man dalla) kebaikan, maka dia mendapatkan pahala sebanding dengan pelaku kebaikan tersebut.”

Wawacan adalah cerita berbentuk puisi berisi kisah-kisah Islam, seperti wawacan Rengganis dan Purnama Alam. Wawacan tidak terekspos dengan baik di pesantren karena teks klasik kitab kuning dikaji mentah-mentah sebagai sesuatu yang “sakral”, bersifat “teosentrisme”, dan terasing dari realitas kemanusiaan. Pesantren semakin eksklusif  karena punya pemahaman yang rendah tentang analisis sosial problem sentral kemanusiaan, mengabaikan proses akulturasi budaya, serta tidak mengerti konsepsi pembacaan teks yang menekankan bahwa teks sebaiknya dipahami dari kekhususannya bukan keumumannya (al-ibrah bi khusûs al-sabâb la bi ‘umûm al-lafadz).

Pesantren lantas sulit merealisasikan ide atau wacana yang dipelajarinya dengan praksis perubahan pada masyarakat sehingga signifikansi ajaran agama di pesantren yang seharusnya paralel dengan kapabilitasnya dalam mencari solusi atas problem kemanusiaan tidak terlaksana. Penulis merasakan hal ini ketika “mendekam” sekian lama di beberapa pesantren yang ada di wilayah Jawa Barat. Di Baitul Arqom Ciparay Bandung, kebanggaan mengkaji bahasa Arab dan Inggris di nadwah al-lughah telah melenakan para ustad dan para santri dari bahasa ibu serta akar budaya sendiri, yakni Sunda, tempat dimana para santri—yang berasal dari wilayah Sunda—akan melakukan kegiatan dakwah.

Begitu juga dengan  pasaran kitab Alfiyah di Bantargedang. Meskipun aktifitas ini memakai bahasa Sunda, tetapi ta’bir  tetap memakai setting dan struktur Arab yang terpisah dari realitas empirik para santrinya yang nota bene berasal dari pedalaman dan pesisir laut.

Sikap sebagian besar pesantren yang menolak seni tradisi Sunda seperti pantun, bebeluk, dan ngawih disertai perangkat instrumentalnya seperti suling, kecapi, dan gamelan, semakin mengidentifikasikan dirinya sendiri (self-identification) pada tradisi agung (great tradition) seperti diklasifikasikan Ernest Gellner, di mana tradisi tinggi adalah Islam resmi yang universal bukan lokal.

Tetapi pada kenyataannya yang muncul dari identifikasi Islam resmi yang universal ternyata hanyalah arabisasi, yaitu proses peng-arab-an yang diperlihatkan dari jubah, tutup kepala, sorban, pengucapan kalimat arab, dan nasyid. Arabisasi dianggap sebagai pola keislaman yang “resmi”. Inilah fenomena tadayyun ‘ala harf la ‘ala ma‘nâ yang menunjukkan sikap keberagamaan secara simbolik dan melupakan subtansi nilai-nilai keagamaan itu sendiri.

Seandainya sosok si Kabayan yang cerdas dan jujur, memakai ikat kepala dan berbaju hitam dengan suasana urang Sunda yang ramah, akrab, dan terbuka teridentifikasi oleh para santri dan pesantren yang ada di tatar Sunda, tentu akan menambah keanekaragaman interpretasi dalam keberagaman (Islam) yang jadi rahmat untuk kemanusiaan. Kapan hal ini bisa terwujud? Hanya para kiai dan para santri yang tahu.

 Wallahu ‘alam bish shawab

 *Penulis Buku Fatwa dan Canda Gus Dur (Kompas),  dan beberapa artikel di media cetak. Narasumber di beberapa seminar dan TV Nasional. Aktif dalam isu-isu dan gerakan HAM, anti korupsi dan budaya lokal. Anggota perkumpulan Fahmina, ANBTI, KONTRAS, KOMPAK, dan Lintas Iman. Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka, sebuah pesantren yang mendidik santri untuk menghargai pluralitas dan kemanusiaan, serta pendiri Pesantren Ki Buyut yang konsen terhadap kesenian tradisional. Kontak: kang_maman32@yahoo.com, HP 08156404387. Ketik: Kyai Maman>kangmaman100’s chanel www.youtube.com

*Tulisan ini disampaikan dalam seminar tentang Saman pada Festival Saman Summit 2012, 14-15 Desember 2012, di Jakarta. 

Share: 

Zircon - This is a contributing Drupal Theme
Design by WeebPal.