Tantangan modernitas yang bercirikan industrialisasi dan globalisasi dengan dominasi dan hegemoni negara-negara maju (developed countries) di segala bidang, menuntut setiap anggota masyarakat global untuk mengambil sikap antisipatif. Terlebih Indonesia, yang dilihat dari seluruh sudut pandang geologis, historis dan budaya, sangat beragam dan kompleks, tetapi kurang memiliki sumber daya manusia yang memadai. Hal tersebut terlihat dari rendahnya kualitas SDM di berbagai institusi sosial, budaya, politik, pendidikan dan keagamaan, yang dibuktikan dengan sikap yang tidak profesional, kurang memahami dinamika budaya, HAM dan demokrasi, serta ketidakmampuan untuk menguasai teknologi informasi dan manajemen informasi.
Ada dua hal yang menjadi kendala serius dalam menghadapi tantangan modernitas. Pertama, sikap keagamaan yang eksklusif. Sikap eksklusif ini akan menyulitkan diri dalam menghadapi tantangan modernitas. Umat beragama akan merasa kaku untuk menerimanya, karena telah terjebak akan romantisme kemapanan, klaim kebenaran, dan sikap yang menutup diri terhadap kritik atas pribadi dan tradisinya sendiri. Sehingga banyak para pemimpin umat yang mengalami kegugupan mental dan iintelektual dalam menghadapi kemajuan trasformasi budaya. Semua itu dapat mengakibatkan kaum beragama kehilangan vitalitas, daya hidup dan daya saing di tengah kehidupan yang semakin kritis, maju dan juga penuh tantangan. Sikap para tokoh agama yang menghegemoni dan mendominasi peran, kesempatan, dan adanya pandangan umat yang pluralistik akan semakin memperparah keadaan umat yang telah terperosok pada jurang kemiskinan, kekerasan, perpecahan, pandangan sempit (jurnud al-`ain) yang terpisah dan realitas. Hal itu yang mengakibatkan terabaikannya problem-problem kemanusiaan serta tercerabutnya nilai spiritualitas dan nalar pembaruan di tengah-tengah llajunya perubahan yang sangat cepat. Kedua, pendidikan yang kontra-realitas. Pendidikan hanya sebagai proses pengalihan (transfer) informasi, bukan sebagai proses transformasi sosial. Padahal, pendidikan yang benar, menurut Paulo Freire, adalah pendidikan yang direncanakan sebagai proses perubahan, dalam rangka menciptakan struktur–struktur sosial yang llebih adil dan manusiawi. Dalam salah satu bukunya, 'Cultural Action For Freedom', Paulo Freire menambahkan bahwa pendidikan harus menjadi aksi kebudayaan untuk pembebasan dan aksi revolusi. Atau dalam bahasa Al-Quran, pendidikan harus menjadi alat untuk "wa yadho'u ishrarahum wa al-aghlala allaiiy kanat `alaihim, menghilangkan beban penderitaan dan belenggu kesengsaraan yang ada pada umat manusia." (QS. AVAraf :157).
Rendahnya kualitas sumber daya tersebut memicu munculnya berbagai ketegangan dan bahkan konflik dalam berbagai bidang. Umpamanya saja yang terjadi dalam konflik sosial-politik, seperti ketidakseimbangan kinerja pemerintah dengan tuntutan publik dalam mengatur polarisasi system dan mekanisme kerja.
Umumnya mekanisma kerja birokrasi di negara ini hanya menjadi representasi sebuah kekuasaan yang hegemonis, merasa paling pintar dan memarjinalkan peran masyarakat. System kekuasaan tidak lagi aspiratif dan fair. Konflik kepentingan antar partai politik yang terfokus pada power clepence, semakin menjauhkan peran lembaga legislatif ini dari produk kebijakan publik (public policy). Padahal, seluruh kebijakan public harus berorientasi pada kemaslahatan "Tasharruf al-imam manutun hi al-maslakhah" dan mengusahakan penguatan civil society. Lembaga legislatif seharusnya bermuatan spirit moralitas yang berpihak pada kemaslahatan masyarakat. Dengan itu kehidupan sosial akan terorganisir dengan dinamis dengan partisipasi publik yang didasarkan pada kerelaan. keswasembadaan, ketaatan pada hukum, keswadayaan dan kemandirian. Begitu pula yang terjadi dengan konflik sosial-budaya, misalnya kasus Dayak Kalimantan. Atau konflik sosial-¬politik-keagamaan, seperti tragedi Poso, Ambon, Situbondo, Mataram, Tasikmalaya dan banyak lagi. Kesemuanya konflik itu menunjukkan ketidaksiapan SDM Indonesia dalam menghadapi modernitas, demokratisasi dan pluralisme.
Selain konflik yang di atas, muncul sebuah konflik baru, yaitu ketegangan yang terjadi menyangkut hubungan antara agama dengan kesenian (kebudayaan). Contohnya, sikap beberapa agamawan terutama ulama syari'ah, yang secara terang-terangan mengharamkan ikhwal keberadaan seni. Akibatnya, perkembangan seni mengalami hambatan. Seni tradisi misalnya, dianggap bermuatan syirik, berdekatan dengan perilaku setan, atau bahkan dipandang selalu diikuti setan. Seni tradisi dikhawatirkan akan menjauhkan umat dari nilai-nilai illahiah (ketuhanan). Penerapan "bunyi ajaran agama" yang diambil dari teks-teks fiqih, hadis, dan menghadapkannya secara kaku pada realitas masyarakat dan tradisi-tradisi lokal, khususnya menyangkut keseniannya, akan menjadikan "agama" gagal mendengarkan aspirasi-aspirasi dasar dari masyarakat. Kekakuan, ketertutupan, dogmatisme, dan kemandegan menyebabkan agama kehilangan vitalitas perubahan di tengah masyarakat. Hegemoni para tokoh agama dengan doktrin-doktrin agama sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni budaya, khususnya seni budaya tradisional (lokal) yang telah menjadi salah satu sendi kehidupan masyarakat kita jauh sebelum ajaran Islam masuk ke dalam tatanan budaya kita. Pada titik ini, seni tradisi tak jarang menjadi ikon budaya yang dipandang menempati posisi berseberangan dengan ajaran agama. Hubungan antara agama (Islam) dan kreator seni tradisi lain tidak harmonis dan saling berlawanan. Agama dan budaya lokal lalu sulit bertegur sapa. Ironisnya, agama dan budaya lokal masyarakat (khususnya seni tradisi) tidak sekadar berjalan pada wilayahnya masing-masing, melainkan kadang bertentangan, bertabrakan, dan saling melenyapkan. Bukannya saling mendekat dan bersinergi, tetapi agama dan masyarakat pun lalu berjauhan, bahkan saling bermusuhan. Energinya tersedot habis dalam pusaran konflik yang tentu saja tidak produktif, bahkan bisa menjadi destruktif. Sudah saatnya kita menepis pola berpikir biner dan dikotomis, misalnya antara "santri" dan "abangan", "muslim" dan "non-muslim", "Islam(i)" dan "non-Islam(i)", dan seterusnya. Yang penting bukan "baju" dan "simbol" luarnya, melainkan sumbangsih positifnya bagi kemanusiaan dan kehidupan.
Karenanya, apa yang dirintis PSN menemukan relevansinya dengan sebuah ikhtiar yang serius, cerdas dan mengikuti `kompas`. Di samping menjawab persoalan pokok pendidikan seni, yaitu bagaimana menghasilkan anak didik yang mampu mengapresiasi seni dan menghasilkan penciptaan seni yang kreatif, inovatif, berkepribadian Indonesia serta memiliki integritas tinggi dalam melestarikan dan mengembangkan seni tradisional sebagai akar budaya.
Pendidikan seni dapat dijadikan sebagai sarana dialog serta proses transformasi sosial, menuju terciptanya masyarakat yang inklusif, egaliter dan demokratis. Yaitu sebuah masyarakat yang mempunyai kesadaran tentang pluralitas, di mana keberadaan mereka di dunia yang beragam ini ikut serta untuk membangun kebersamaan. Sebuah kesadaran yang sangat diperlukan untuk pembebasan. Farid Esack dalam bukunya `Qur`an, Liberation and Pluralism` bahwa, seluruh isu transformasi harus dibangun dari basis pemahaman pluralisme yang bersifat pembebasan (liberation). Pembebasan ini dapat dicapai melalui perjuangan bersama melawan penindasan dan ketidakadilan dengan kaum marjinal dan tereksploitasi, akan mewujudkan solidaritas tak terucap, melintasi garis doktrinal yang sempit.
Seni merupakan sarana manusia untuk mencapai kearifan, sebagaimana yang dikatakan Ibn Arabi (1165-1240). Kearifan yang mengantarkan manusia pada sebuah pengalaman spiritual yang tinggi, sehingga seseorang akan mengalami disclosure, tersingkapnya sesuatu yang baru. Soren Kierkegaard mengistilahkan dengan leap of faith (lompatan iman) atau dalam agama disebut; enlighment, satori, moksha, nirvana atau ma'rifat. Dalam hadits Nabi dikatakan "man 'arafa nafsahu fa qod `arafa rabbahu": barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Sebuah ungkapan yang konon berasal dari Nabi Idris, (Hurmus, mengacu pada risalah hurmusiyyah atau Hermes, guru Plato) yang berkata: "`irif nafsaka ta'rif rabbaka": kenali dirimu, maka kamu akan mengenali Tuhanmu. Kesadaran akan essensi diri, menurut Suhrawardi (1153-1191 M) berarti memberi kesadaran pada semua wujud yang berada pada tingkat yang sama. Inilah yang menjadi pijakan awal bagaimana sesungguhnya pendidikan seni yang digagas PSN dapat menghantarkan pada pemahaman pluralisme. Yakni, terbentuknya sebuah kesadaran yang terwujud dalam pola pikir, sikap dan pola tindak yang menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan, persaudaraan dan martabat kemanusiaan. Tanpa harus terjebak pada sikap diskriminatif berdasarkan suku, bangsa, warna kulit, keturunan, keyakinan dan agama. Misalnya dalam pluralitas antar agama, seni diharapkan memberi kesadaran (to be religious is to be interreligious). Sehingga seni bisa menjadi semacam "sarana-dialog" yang dapat meminimalisir kebencian, permusuhan, konflik dan pertumpahan darah, yang sering dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan sesuatu yang suci, yaitu Tuhan dan agama. Sebagai contoh adalah kasus penyerbuan kampus Mubarak Jamaat Ahmadiyyah Indonesia, di Parung-Depok, yang merupakan serpihan kekerasan atas klaim kebenaran sepihak yang meruntuhkan citra agama. Sarana-dialog ini merupakan kemauan menerima orang lain yang berbeda (the other, al-akhor), mendengar dengan tulus dan berakhir dengan mutual learning. Seperti dalam seni, dialog meniscayakan kesejajaran, menghindarkan dari stereotyping, bias, dan apriori serta menekankan deskripsi dan interpretasi yang kritis terhadap sebuah fenomena secara objektif yang dilandasi semangat belajar, spirit of learning. Karena, seperti yang dikatakan Bhagavan Das dalam bukunya “The Essential Unity of All Religion” semua penganut agama akan bertemu dalam the road of life dengan the supreme of spirit" (Qs al-Hujurat:13).
Dalam dunia tasawuf, seni (terutama musik dan tarian), mendapat tempat utama sebagai sarana penyucian jiwa dan pengenalan unsur rohani. Seorang sufi besar dan pendiri tarekat Maulawiyah, yaitu Jalaluddin Rumi (w.1273) mengatakan, "Banyak jalan menuju Tuhan, pilihanku adalah musik dan tari". Sebagai sarana penyucian, jiwa, seni akan mendorong seseorang untuk melakukan tindak penyucian yang meliputi: pertama, penyucian jiwa (tazkiyyah an-nufush) dari segala akhlak yang busuk dan tercela (al-madzmumah), prinsip hidup yang melawan fitrah kemanusiaan, serta mum hati (sirr) yang memandang kepada selain Allah. Kedua, penyucian indrawi, di mana ia mempunyai kepedulian terhadap kebersihan (nazdafah), keindahan dan kebersamaan. Patalogi sosial yang mengaburkan batas antara benar dan salah, baik dan jahat, moral dan amoral, serta menjerumuskan pada kondisi ketidakmenentuan moral (indeterminancy moral), muncul dari jiwa yang tidak tersentuh oleh tindak penyucian terscbut (tazkiyyah). Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghozali. yang mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Thusyi al-Syafi'i al-Ghazali, lahir di Thusi, sebuah kota kecil di Iran, pada tahun 450 H (1058 H), seorang pemikir ulung yang dianggap berhasil membuktikan kebenaran Islam, karenanya ia dijuluki Hujjah al-Islam, mengatakan, "Barangsiapa yang jiwanya tidak tergerak oleh kembang-¬kembang yang bermekaran di musim bunga, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit kejiwaan yang sulit diobati". Dari penyakit kejiwaan tersebut, muncul kebencian, kemarahan, kekerasan dan ketidakadilan yang merupakan awal dari degradasi moral. Sesuatu yang jauh lebih serius dibandingkan dengan bencana alam semisal gempa bumi dan tsunami yang menghantam Aceh dan Sumut, yang menurut Sekjen PBB Koffi Anand merupakan an un precendented disaster which requires unprecedented response (bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya hingga membutuhkan respons yang juga belum pernah terjadi sebelumnya). Ingat, peradaban tidak akan pernah hancur hanya karena bencana apalagi akibat kebebasan berpikir atau berkreativitas. Kehancuran peradaban justru diakibatkan kehancuran moralitas.
Pendidikan seni di sekolah dimaksudkan PSN sebagai upaya mengembangkan kepribadian anak didik agar memiliki kebudayaan nasional. Mochtar Lubis, da!am Horison (Februari 1986) mengatakan bahwa jika hendak membangun kekuatan budaya bangsa, maka perlu mengembangkan budaya Indonesia yang baru dengan memasukkan unsur budaya tradisional yang berfungsi memperkuat watak, kepribadian, kemandirian, sikap kritis, kreativitas, solidaritas, rasionalitas dan kemanusiaan. Itulah nilai-nilai spiritual yang harus dimiliki anak didik, sebagai calon pemimpin-pemimpin di masa yang datang. Karena seperti yang disimpulkan sebuah diskusi yang mengambil tema 'Does Spirituality Drive Succes', apakah spiritualitas bisa membuat sukses? di Harvard Bussines School, April 2002, bahwa: kesuksesan seseorang sangat tergantung dari nilai spiritulisme yang dimilikinya. Dengan jiwa spiritualitas yang kuat, berupa Integritas (kejujuran), Energi (semangat), Inspirasi (penuh ide), Wisdom (bijaksana) dan Courageous (keberanian) yang dimilikinya, anak didik terdorong melakukan pembebasan terhadap problem-problem kemanusiaan yang kompleks, mengembalikan nilai spiritualitas dan nalar pembaruan dalam perubahan yang sangat cepat. Serta selalu berikhtiar untuk mempertemukan gagasan dan ide yang mempertemukan pemikiran yang emansipatif dan eksploratif, baik bernuansa keagamaan maupun kebudayaan. Dari sinilah akan lahir generasi baru yang memiliki kecenderungan revolusioner dari dinamika pemikiran bersifat plural, terbuka, apresiatif terhadap hal-hal baru, merakyat, dan punya kepedulian sosial yang tinggi. Yang dijabarkan dengan sikap toleransi yang tinggi, menghormati hak asasi, dan konsisten pada visi penguatan masyarakat sipil.
Tampaknya, disinilah pentingnya nilai serta pengaruh kesenian terhadap realisasi penyempurnaan kehidupan spiritual manusia. Seni bukan sekedar eskspresi kebebasan tanpa nilai, atau alat yang akan mengantarkan manusia pada pendangkalan spiritual, pelanggaran moral dan agama. Karena jika itu yang terjadi. jangan heran sisi lain tradisi dan keagamaan (seperti yang dikemukan di atas) menolak terhadap kesenian. Contohnya tulisan Louis Ginzberg dalam bukunya The Legends of The Jews, mengatakan bahwa bencana air bah pada zaman Nabi Nuh diakibatkan ulah Cain (Kabil, putra Adam) yang menodai dunia dengan memainkan musik dan pesta mabuk. Dalam Mukasyafah al-Qulub, beberapa ulama mengemukan pandangan mereka terhadap seni, di antaranya: "sesungguhnya nyanyian adalah kebatilan, siapapun yang menyenanginya adalah orang bodoh (safih) yang ditolak kesaksiannya". Begitu pula sikap sebagian komunitas muslim (pesantren salah¬satunya) yang menolak seni tradisi. Umpamanya: penolakan terhadap seni tradisi Sunda seperti pantun, bebeluk, dan ngawih disertai perangkat instrumentalnya seperti kecapi, dan gamelan, hal ini merupakan sebuah realitas yang menghawatirkan. Semua itu, sebenarnya, merupakan tindakan preventif (sadd ad¬dara'i) agar manusia tidak terjerumus pada kehancuran. Misalnya seni dapat membuat manusia lalai kepada Sang Pencipta, menodai sifat kemanusiaan, mendorong kriminalitas, menimbulkan gairah sensual, pemujaan terhadap individu serta tindakan anarkis.
Semoga pendidikan kesenian ala PSN ini melahirkan anak didik yang berjiwa seni, yang serius berinteraksi dengan gagasan-gagasan besar yang menyangkut pembebasan (liberation) manusia dari problem kemanusiaan yang membelenggunya. Serta mengahayati proses berkesenian sebagai nilai spiritual yang akan mendorongnya menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan lokal.