Alex Komang adalah aktor teater dan film Indonesia. Ia dilahirkan di Jepara, Jawa tengah, pada 17 September 1961. Ia bernama asli Syaifin Nuha. Ayahnya, Kyai Shohib adalah seorang kyai kampung yang disegani. Masa kecil hingga SMA dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Sewaktu bersekolah di SMA Walisongo, Pecangaan, Jepara, ia pergi berkelana ke Jakarta, dengan menumpang di seorang teman.
Perkenalannya dengan dunia kesenian adalah ketika ia sering nongkrong di Kompleks Gelanggang Olahraga Bulungan, Jakarta Selatan pada akhir tahun 1970-an. Di sini adalah tempat berkumpulnya seniman dan sering ada pementasan teater. Ia bergabung dengan sebuah kelompok teater bernama Teater EGG (Teater Tetas) dan pernah mementaskan lakon Jerita Tangis di Malam Buta. Perkenalannya dengan Teguh Karya, pemimpin Teater Populer, membawanya meniti karir keaktoran. Ia pun masuk Teater Populer dan perlahan dipercaya menjadi aktor utama selain Slamet Rahardjo.
Setelah meniti pengalaman di dunia panggung teater, Teguh Karya pun mengajaknya terjun ke dunia film. Film Secangkir Kopi Pahit (1984) adalah film pertamanya. Di sini ia memerankan tokoh Togar, pemuda asal Sumatera Utara yang merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai reporter. Kehidupan keras di Jakarta menjadikan Togar yang ringkih, menjadi seorang pecundang. Ketidakberuntungan silih berganti dialaminya. Film keduanya adalah Doea Tanda Mata (1985), yang disutradarai pula oleh Teguh Karya. Di film ini, Alex Komang mendapatkan peran utama dalam tokoh Goenadi. Aktingnya yang cemerlang membawanya meraih Piala Citra untuk kategori Aktor Terbaik tahun 1985. Berturut-turut ia pun membintangi film Teguh Karya yang lain yaitu Ibunda (1986) dan Pacar Ketinggalan Kereta (1988).
Karir keaktorannya dalam film sempat vakum seiring dengan lesunya perfilman nasional pada tahun 1990-an. Ia baru kembali ke dunia film pada akhir tahun 2000-an dengan membintangi sejumlah film antara lain A Long Road to Heaven (2006), Laskar Pelangi (2008), Romeo dan Juliet (2009), Darah Garuda (2010), True Love (2011), Surat kecil untuk Tuhan (2011), 9 Summers 10 Autumns (2013), Sebelum Pagi Terulang Kembali (2014), dan Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015). Ia juga menjadi aktivis di dunia perfilman Indonesia dengan menjadi Ketua Badan Perfilman Nasional (2014-2017). Selain itu, ia juga aktif di Lesbumi, sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan Nahdhatul Ulama.
Karir yang cemerlang di dunia film tak membawanya dibanggakan oleh ayahnya, yang seorang kyai. Ayahnya merasa apa yang dilakukan Alex di dunia film yang glamour tersebut merupakan aib. Alex sebagai seorang anak, bahkan sempat didiamkan oleh ayahnya selama beberap waktu. Namun dengan sikap andhap asor-nya (sikap menjunjung dan menghormat) yang gigih, ayahnya pun akhirnya luruh dan memaafkan Alex.
Alex Komang menikah pada 1998 dengan perempuan asal Malaysia, Nory. Mereka berdua dikarunia seorang anak perempuan. Pada akhir 2014, ia dirawat di rumah sakit karena didiagnosis terkena kanker hati stadium lanjut. Perjuangannya melawan penyakit itu berakhir ketika ia menghembuskan nafas terakhir pada 13 Februari 2015. Ia dimakamkan keesokan harinya di tanah kelahirannya, Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah.