Oleh Goenawan Mohamad
Komunitas: sebuah kelompok yang menganggap diri atau dianggap punya sifat atau minat yang sama dan melihat dirinya berbeda dalam beberapa hal dari masyarakat yang lebih luas.
Saman: bagian kehidupan yang diciptakan untuk “merayakan komunitas.” Tampak dalam acara bejamu saman. Wajar jika tarian ini bisa bertaut dengan agama. Agama: “the celebration of the community”- Ernest Gellner.
· “Religion is link to the celebration of the community...” :Ernest Gellner (1925-1995)
Kritik untuk Gellner:
Ia melihat bahwa di dunia modern, dengan masyarakat orang ramai (mass society) yang nafsi-nafsi, tak banyak lagi“komunitas” yang dirayakan, kecuali “negara-bangsa” (nation-state) Dengan kata lain, Gellner anggap “komunitas” sebuah gejala dari masa yang (akan) lewat --akan lenyap bila negara-bangsa mengambil alih bentuk kebersamaan. Padahal ada komunitas-komunitas yang mengaktualisasikan diri secara lama atau pun baru. Komunitas agama.
Berbeda dari Gellner, saya menganggap komunitas bukan sesuatu yang transient (sementara, akan lewat), melainkan contingent (tergantung kepada situasi dan kondisi yang ada). Sebuah komunitas sebenarnya sesuatu yang di-anggit. Kata “nganggit” berarti “menggubah dengan imajinasi”.
Dalam bahsa Inggris sebuah komunitas adalah sesuatu yang “imagined”. Sebuah komunitas tidak “hadir” di luar (atau sebelum) sebuah himpunan sosial yang ada terbentuk. Para anggota tak dengan sendirinya saling melihat titik-titik persamaan di antara mereka -- tapi dengan spontan atau direkayasa mereka membayangkan & menggubah kesatuan dan persatuan mereka.
Apa sesungguhnya “Indonesia”? “Jawa”? “Aceh”? Masing-masing: sebuah komunitas yang dianggit. Semuanya: “imagined communities”.
A nation “is imagined because the members of even the smallest nation will never know most of their fellow- members, meet them, or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of their communion." (Bennedict Anderson)
Tentang Identitas “Suatu identitas dipertanyakan hanya bila ia terancam...atau ketika si orang asing memasuki pintu gerbang” - James Baldwin (1924-87)
Dalam menentukan identitas sebuah komunitas, terdapat:
· 1. Peran bahasa (menyebut, memberi nama).
· 2. Peran kekuasaan dan administrasi (mengukuhkan nama itu).
· 3. Peran infrastruktur (lalu- lintas, media massa, pendidikan).
Identitas bukanlah “jati diri”, jika “jati diri” sama artinya dengan “diriku yang sebenarnya”. Siapa yang tahu bagaimana “diriku yang sebenarnya”? Bukankah apa “diriku” selalu merupakan hasil interpretasi, juga interpretasiku sendiri? Bukankah peran pihak lain menentukan?
Karena sifatnya yang contingent, serba mungkin, tergantung pada faktor-faktor di luar, sebuah komunitas terdorong untuk merayakan ke-komunitas-annya terus menerus.
Tetapi karena sifatnya yang contingent pula, sebuah komunitas berubah bersama waktu. Berubah luasnya, keragaman elemennya, tantangan-tantangannya.
Identitas tampaknya menjadi garmen yang dipakai untuk menutupi ketelanjangan diri: maka yang terbaik adalah mengenakan garmen itu longgar, agak mirip dengan jubah padang pasir, dari mana ketelanjangan seseorang selalu bisa dirasakan, dan, kadang- kadang, ditebak.
Kepercayaan kepada ketelanjangan diri itulah satu-satunya hal yang memberi seseorang kekuasaan untuk mengganti jubahnya. (James Baldwin)
*Tulisan ini disampaikan pada seminar tentang Saman dalam Festival Saman Summit 2012, 14-15 Desember 2012, di Jakarta.